초록 열기/닫기 버튼

This paper examines the tension between meritocracy and empowerment discourses in Indonesian public universities and its relationship with gender-related leadership representation. The recent emergence of five female rectors signals a change that allows women to undertake leadership roles. We argue that there are two contradictory discourses (i.e., empowerment and meritocracy), which are concurrently visible pertaining to university leadership. The discourse of empowerment promotes gender equity and women’s participation in decision making processes in universities in ways that highlight the historically progressive political agenda of empowerment in Indonesian society. In contrast, the discourse of meritocracy refers to achievement on the basis of individual merit, such as ability and talent. This contradiction is explored through interview data that illuminates the changing conditions of leadership representation in the Indonesian university context. This article makes three contributions to the literature. Firstly, it adds to an underresearched area in higher education in Indonesia. Secondly, it provides a different perspective and analysis of the relationship between gender and higher education by considering both local and international culture. Thirdly, the article offers an argument about the corrosive effect of meritocracy in any university, irrespective of geographical location and local culture.


ABSTRACT IN BAHASA INDONESIA Artikel ini membahas tentang perbedaan pandangan antara wacana meritokrasi dan pemberdayaan di universitas negeri di Indonesia serta kaitannya dengan representasi kepemimpinan perempuan. Munculnya lima rektor perempuan menandakan perubahan yang memungkinkan perempuan untuk menjadi pemimpin. Kami mengemukakan argumen bahwa ada dua wacana yang kontradiktif, yakni pemberdayaan dan meritokrasi, yang terlihat berdampingan di ranah kepemimpinan universitas. Wacana pemberdayaan ini mendukung kesetaraan gender dan peran serta perempuan dalam proses pengambilan keputusan di universitas yang menekankan pada “pemberdayaan” sebagai agenda politik yang progresif di masyarakat. Sebaliknya, wacana mengenai meritokrasi mengacu kepada prestasi yang berdasar pada kelayakan individu, seperti kemampuan dan bakat. Kontradiksi ini diteliti melalui data wawancara yang mengilustrasikan representasi kepemimpinan yang selalu berubah di konteks universitas di Indonesia. Artikel ini membuat tiga kontribusi. Pertama, tulisan ini menambah literatur pada area riset yang tak terjamah, khususnya bidang pendidikan tinggi di Indonesia. Kedua, tulisan ini memberikan perspektif dan analisis mengenai hubungan gender dan pendidikan tinggi dengan mempertimbangkan budaya lokal dan internasional. Ketiga, artikel ini menawarkan argument mengenai efek korosif dari meritokrasi di universitas manapun, terlepas dari lokasi geografis dan budaya lokal.